Pages

Selasa, 28 Januari 2014

Sebuah Renungan di Hari Ibu

hari ibu

Ibuku adalah seorang yang cacat, dia hanya memiliki satu mata. Aku membencinya … dia membuatku malu. Ibuku mengelola sebuah kios kecil di pasar loak. Dia mengumpulkan sedikit gulma dan sejenisnya untuk dijual…  Yah apapun untuk memenuhi kebutuhan kami. Itu adalah cerita saat aku berada di sekolah dasar.
Aku ingat bahwa hari itu adalah hari pertandingan, dan ibuku datang. Aku sangat malu. Bagaimana dia bisa melakukan hal ini padaku? Aku melemparkan tatapan penuh kebencian dan berlari keluar. Keesokan harinya di sekolah … “Ibumu hanya memiliki satu mata?!” Dan mereka pun mengejek saya.
Aku berharap bahwa ibuku menghilang saja dari dunia ini jadi aku berkata kepada ibuku, “Ibu, mengapa ibu tidak memiliki mata lainnya? Ibu hanya akan membuat aku menjadi bahan tertawaan. Kenapa ibu tidak mati saja?” Ibuku tidak menanggapi. Aku memiliki perasaan yang sangat kacau saat itu, namun pada saat yang sama, aku merasa lega karena telah mengatakan apa yang ingin aku katakan selama ini. Mungkin karena ibuku tidak menghukumku, aku tidak berpikir bahwa aku telah menyakiti perasaannya dengan sangat buruk.
Malam itu … aku terbangun, dan pergi ke dapur untuk mengambil segelas air. Ibuku menangis di sana, secara pelan-pelan, karena ia takut akan membangunkanku. Aku melihatnya sebentar, dan kemudian pergi meninggalkannya. Karena hal yang telah aku katakan kepadanya sebelumnya, aku merasa ada sesuatu yang sedikit menusuk di sudut hatiku. Meskipun demikian, aku benci ibuku yang menangis dari satu matanya. Jadi aku berkata pada diriku sendiri bahwa aku akan tumbuh dewasa dan menjadi sukses suatu saat nanti, karena aku benci ibuku bermata satu dan kemiskinan yang kami derita.
Lalu aku belajar dengan sangat keras. Menginjak dewasa, aku meninggalkan ibuku dan pergi ke kota besar untuk melanjutkan belajar disana. Aku diterima di salah satu universitas ternama di kota tersebut dengan berbekal semua kepercayaan diri yang kumiliki. Kemudian, aku menikah. Aku membeli rumahku sendiri. Aku memiliki anak-anak juga. Sekarang aku hidup bahagia sebagai orang yang sukses. Aku menyukai tempat tinggalku saat ini karena ini adalah tempat dimana tidak mengingatkanku akan ibuku.
Kebahagiaan ini semakin besar dan besar, ketika tiba-tiba suatu hari seseorang yang tak terduga datang menemuiku “Apa?! Siapa ini?” Itu ibuku … Masih dengan satu matanya. Rasanya seolah-olah seluruh langit runtuh padaku. Gadis kecilku lari, takut pada mata ibuku .
Dan aku bertanya kepadanya , “Siapa kamu? Aku tidak tahu kamu!” Aku berpura-pura tidak mengenalinya. Aku berteriak padanya “Beraninya kamu datang ke rumahku dan menakut-nakuti anakku! Keluar dari sini sekarang!” Ibuku secara perlahan menjawab, “oh, aku sangat menyesal. Aku mungkin telah salah alamat,” dan ia menghilang. Syukurlah … dia tidak mengenaliku. Aku cukup lega. Aku berkata pada diriku sendiri bahwa aku tidak akan peduli, atau berpikir tentang hal ini selama sisa hidupku.
Suatu hari, sebuah undangan menghadiri reuni sekolah datang ke rumahku. Aku berbohong kepada istriku dengan mengatakan bahwa aku akan melakukan perjalanan bisnis. Setelah reuni, aku pergi ke gubuk tua, dimana aku dulu pernah tinggal disana, hanya sekedar ingin tahu saja … aku terkejut menemukan ibuku terjatuh di lantai yang dingin. Tapi aku tidak meneteskan air mata sedikit pun. Di tangannya terdapat selembar surat …. itu surat untukku.
Ia menulis :
Anakku, aku pikir hidupku sudah cukup saat ini. Dan … aku tidak akan mengunjungimu lagi … tapi apakah terlalu banyak jika aku memintamu untuk datang mengunjungiku sesekali? Aku sangat merindukanmu. Dan aku sangat senang ketika mendengar kamu datang untuk reuni sekolah. Tapi aku memutuskan untuk tidak pergi ke sekolah untuk menemuimu …. Aku takut hanya akan membuatmu marah sekali lagi … Aku minta maaf bahwa aku hanya memiliki satu mata, dan telah membuatmu malu selama ini. Anakku, ketika kamu masih kecil, kamu mengalami sebuah kecelakaan, dan kehilangan matamu. Sebagai seorang ibu, aku tidak tahan melihat engkau akan tumbuh dengan hanya satu mata … jadi kuputuskan memberimu kepunyaanku … Aku sangat bangga dengan anakku yang melihat sebuah dunia baru untukku, di tempatku saat ini, dengan mata tersebut. Aku tidak pernah marah padamu untuk apa pun yang kamu lakukan. Setiap kamu marah kepadaku, aku selalu berpikir, ‘itu karena kamu mencintaiku’ Aku rindu saat-saat kamu masih kecil berada di sampingku. Aku sangat merindukanmu. Aku mencintaimu. Kamu sungguh berarti bagiku.
Seketika tangisanku meledak … Aku telah membenci orang yang menghabiskan hidupnya selama ini hanya untukku. Aku menangis untuk ibuku. Aku tidak tahu bagaimana caranya untuk menebus perbuatan burukku tersebut …
***
Pesan moral dari cerita diatas: Jangan pernah membenci siapapun untuk kecacatan mereka. Jangan tidak menghormati orang tua kita, jangan pula mengabaikan atau memandang rendah pengorbanan mereka. Mereka memberi kita kehidupan, mereka membesarkan kita lebih baik dari mereka sendiri. Mereka memberi semua untuk anak-anak mereka dan terus berusaha untuk memberikan yang lebih baik dari yang pernah mereka miliki. Mereka tidak pernah berharap tidak sehat untuk anak-anak mereka, bahkan dalam bayangan mereka sekalipun. Mereka selalu mencoba menunjukkan jalan yang benar dan menjadi penyemangat. Mereka selalu mengampuni semua kesalahan yang dibuat oleh anak-anak mereka. Tidak ada cara yang setimpal untuk membalas apa yang telah mereka lakukan untuk anak-anak mereka. Semua yang bisa kita lakukan adalah mencoba memberikan apa yang mereka butuhkan dan itu hanyalah waktu, cinta dan rasa hormat.
Selamat Hari Ibu!

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates